Suara bel tanda jam sekolah berakhir sudah
berbunyi sekitar tiga puluh menit yang lalu. Walaupun begitu, Locksley Academy
masih saja dipenuhi oleh para murid yang masih berada di sana. Kebanyakan dari
mereka sedang disibukkan oleh kegiatan ekstra kurikuler. Akan tetapi, ada juga
yang masih harus berada di ruang detensi dan menerima hukuman.
Namun sepertinya tidak semua murid akan bertahan
di sana hingga waktu yang ditentukan. Karena dari pintu belakang terlihat salah
satu murid keluar perlahan-lahan dari ruang detensi. Murid tersebut adalah
Kintaro.
Setelah merasa bosan mendengar segala pertanyaan
yang diajukan gurunya, Kintaro memutuskan untuk melarikan dari ruang penyiksaan
tersebut. Lagipula, rasanya tidak adil bila sang guru menghukumnya di sana,
hanya karena dia merasa mengantuk dan memutuskan untuk tidur di kelas sastra
Inggris.
Rasa kantuk, bagaimanapun juga, merupakan sifat
alami manusia. Sementara tidur adalah hak manusia yang sudah seharusnya
diberikan, begitu pikirnya. Walaupun di sisi lain, sudah tidak seharusnya
baginya untuk terus terbangun semalaman di malam sebelumnya. Sehingga
membuatnya sangat mengantuk hari ini.
Apapun itu alasannya, Kintaro memang sudah tidak
betah berlama-lama di ruangan itu. Oleh karena itu, ketika dia melihat sebuah
kesempatan, dia pun memutuskan untuk mengendap-endap keluar kelas melalui pintu
belakang ruangan. Merupakan sebuah keuntungan juga baginya untuk duduk di meja
deretan belakang, yang berada dekat dengan pintu belakang.
Sekeluarnya dia dari ruang detensi, Kintaro mulai
memikirkan kemana dia harus pergi. Dia tidak ingin langsung pulang ke rumah,
dan membuatnya tertangkap basah telah menghindari jamnya di ruang detensi. Dia
mulai melangkah, melihat ke kanan dan kirinya, tetap berusaha untuk tidak
terlihat oleh guru-guru yang lain.
Di pikirannya terlintas beberapa tempat yang
mungkin bisa dia hampiri saat ini. Namun, dia membutuhkan sebuah tempat yang
tidak begitu jauh dan, tentu saja, kosong di jam-jam seperti ini.
‘Kingsley Hall!’ sebuah ide terbesit di benaknya.
Kemudian dia pun memutuskan untuk pergi ke sana.
Kintaro tidak salah. Area di sekitar Kingsley Hall
saat ini memang terlihat sepi. Bukan berarti aula berukuran sebuah stadium
kecil ini tidak populer di sekolah, hanya saja tidak banyak aktifitas yang
dilakukan di tempat ini. Selain, acara sekolah, permainan drama dan tentu saja
orkestra sekolah.
Perlahan-lahan Kintaro membuka pintu belakang
Kingsley Hall, yang entah kenapa tidak terkunci. Sekilas terbesit di otaknya,
Earl, pengurus aula yang sudah tua dan pikun, lupa mengunci pintu tersebut.
Namun pemikiran itu langsung ditepis buru-buru olehnya, begitu dia mendengar
alunan permainan piano dari dalam.
Kintaro memutuskan untuk mendengarkan sesaat
permainan tersebut, sementara otaknya memikirkan siapa gerangan yang sedang
bermain saat ini. Seingatnya, klub drama saat ini tidak ada kegiatan apa-apa di
Kingsley Hall. Hal yang sama juga, bagi orkestra sekolah. Hari ini mereka tidak
memiliki kegiatan apa-apa di tempat ini.
‘Jadi, siapa yang memainkan grand piano saat ini?’
pikirnya.
Perlahan-lahan dia mendekati panggung, dan melirik
dari balik tirai panggung. Sekilas dia melihat sosok gemulai yang sedang duduk
di piano. Rasa penasaran mulai mengganggunya, ingin mengetahui lebih dekat
sosok pianis yang sedang bermain saat ini. Tetapi Kintaro buru-buru menepis
rasa ingin tahunya dan memutuskan untuk keluar dari Kingsley Hall. Dia baru
saja lari dari ruang detensi, dan rasanya tidak baik bila dirinya ditemukan
berada di sini oleh orang lain.
Namun ketika dia mulai berbalik badan, dia
menyadari permainan piano lembut nan ceria tadi tiba-tiba berubah menjadi sendu
dan kelam. Seakan-akan sebuah beban berat tersangkut pada setiap nada yang
dimainkan. Tak lama, permainan piano tersebut berhenti begitu saja.
Kintaro terdiam sejenak dan kemudian melirik
melalui bahunya. Sekilas dia melihat sosok pianis tersebut hanya menunduk. Tak
lama terdengar isak tangis pelan dari panggung. Kintaro membalikan badannya
sedikit, untuk melihat jelas sosok pianis tersebut. Dari belakang dia tidak
terlihat seperti salah seorang guru, melainkan seperti salah satu murid.
Untuk sesaat Kintaro terdiam di posisinya,
berpikir apa yang harus dia lakukan. Di satu sisi, dia tidak mengenal gadis ini
sama sekali dan bukanlah gayanya untuk ikut campur urusan orang lain. Namun di
sisi lain, dia merasa tidak enak meninggalkan seorang gadis sendirian.
Pada akhirnya Kintaro pun memutuskan untuk
membiarkan gadis itu. Di benaknya, dia berpikir kadang kala lebih baik
meninggalkan seseorang ketika sedang bersedih. ‘Terkadang itulah yang mereka
inginkan,’ tambahnya sambil melangkah pergi.
Kintaro berjalan perlahan melewati piano tua yang
hampir tidak pernah digunakan lagi. Dengan sedikit rasa penasaran, dia pun
membuka tutup tuts piano dan menekan salah satunya. Terdengar suara nada
sumbang dari piano. Dia teringat Earl pernah mengatakan dia selalu lupa untuk
menyetel ulang senar-senar piano tersebut. Kintaro hanya menggelengkan kepala
dan menghela nafas. Dia sudah menduganya.
Tiba-tiba telinga Kintaro menangkap permainan
piano lagi dari panggung. Kali ini sebuah musik yang tidak asing baginya.
“Piano concerto nomor 2 dari Rachmaninoff…,”
gumamnya pelan.
Kintaro terdiam. Mendengarkan permainan itu
membawanya kembali ke kenangan lama. Dia ingat dia pernah memainkan lagu ini
bersama seseorang yang dia kasihi. Seseorang yang pernah diinginkan untuk
menghabisi waktu bersama. Seseorang yang mewarnai kehidupannya, juga yang
membawa awan hitam yang menaungi hatinya. Semua kenangan lama ini membuatnya
lupa akan apa yang dia ingin lakukan, melainkan membuatnya duduk di depan piano
dan bersiap memainkannya.
‘Aku akan menemanimu,’ katanya dalam hati.
Kintaro pun menutup matanya dan mulai memainkan
jari-jarinya di atas piano tua tersebut. Bagaikan sebuah sihir, suara piano
yang sumbang tadi berubah menjadi merdu. Sementara jari-jari Kintaro yang
terlatih terlihat menari-nari di atas tuts-tuts piano, menemani permainan grand
piano di panggung. Mereka saling mengisi satu sama lain, seakan-akan permainan
ini merupakan permainan duet.
‘Suaraku adalah suaramu dan suaramu adalah
suaraku, berpadu menjadi satu. Kita menari bersama…tanpa terbendung waktu. Ku
akan menemanimu…di sini, hari ini, saat ini…dan akhirnya terima kasih untuk
permainan ini…siapa pun kamu…,’ benak Kintaro berkata-kata bersamaan
dengan melodi yang dia mainkan. Sampai akhirnya mereka berdua pun menutup
permainan duet mereka dengan indah.
Seusai permainan, Kintaro membuka matanya pelan-pelan.
Seakan-akan dia dibawa ke alam mimpi, dan baru saja kembali ke dunia nyata.
Tidak hanya itu saja, dia juga merasa awan hitam yang menaungi hatinya, sudah
terbawa pergi oleh alunan permainan tadi. Permainan musik tadi menyentuh
hatinya sama persis ketika dia memainkannya di masa lalu.
Kemudian Kintaro melihat ke jam tangannya. Detensi
seharusnya sudah selesai sepuluh menit yang lalu, jadi keadaan sudah aman
baginya untuk keluar dari tempat itu. Dia berdiri dari kursi piano dan
mengambil tas yang dia taruh di bawah kursi sebelumnya. Tidak ada keinginannya
untuk berbalik, menemui si pianis. Melainkan dia memutuskan untuk melangkah
menuju pintu keluar. Rasanya dia ingin segera pulang dan beristirahat.
‘Semua kenangan lama ini membuatku lelah…,’
tuturnya dalam hati.
-------------------------------------------------------------------------------
Setelah lamaaaa banget ga menulis, akhirnya menulis juga. Puas rasanya. Untuk cerpen kali ini, sebenarnya idenya sudah lama ada, dan aku sudah pernah mencoba menulisnya. Tapi pada saat itu, cerita berbeda dengan yang ini. Aku memutuskan untuk membuat dua buah cerita; pertama dari sisi yang cewek dan kedua dari sisi yang cowok. Tapi akhirnya yang selesai, cerita yang cowok duluan.
Rencananya sih aku akan membuat serial dari cerita ini, tapi kita lihat saja nanti. Untuk kali ini, selamat menikmati cerita ini~
0 comments:
Posting Komentar